Peranan PKI
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk mengakomodasi persekutuan konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala itu, yaitu antara ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Pada tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia yang dilangsungkan dalam Operasi Trikora mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat yang tidak menghendaki integrasi dengan Indonesia.
Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, pemerintah hanya mengakui partai-partai antara lain: PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk mengaakui PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula mengakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). Demikianlah kehidupan partai-partai politik di masa Demokrasi Terpimpin. Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, tidak dapat melepaskan pergerakan PKI pada masa itu. PKI menghimpun massa dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut. Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer dan menungganginya. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. PKI memanfaarkan keadaan ini untuk mencapai tujuan politiknya. Presiden Soekarno sebagai pemilik ide Demokrasi Terpimpin, pada pelaksanaannya ternyata memiliki penafsiran sendiri yang berbeda mengenai dasar dan makna Demokrasi Terpimpin yang terletak pada kata terpimpin. Soekarno menafsirkan Demokrasi Terpimpin dengan pimpinan terletak di tangan Pemimpin Besar Revolusi. Hal ini kemudian merujuk pada Soekarno sebagai pemegang pemusatan kekuasaan. Pemusatan kekuasaan yang mutlak pada presiden ini bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 saat itu yang menyatakan bahwa presiden merupakan mandataris MPR, dengan demikian presiden berada di bawah MPR. Selain itu, dalam Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mengangkat anggota MPRS dan menentukan apa saja yang harus diputuskan oleh MPRS. Presiden Soekarno juga menetapkan Manipol (Manifesto Politik) sebagai GBHN yang ditetapkan dalam Pen-Pres No.1 Tahun 1960. Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan GBHN tahun 1960. DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959 mengusulkan agar Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar Haluan Negara. Sebelumnya Presiden Sukarno dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959 membacakan manifesto politik republik Indonesia dengan judul "Penemuan Kembali Revolusi Kita". Presiden juga membubarkan DPR hasil Pemilu 1955(Pen-Pres No.3 Tahun 1960),dan membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong_Pen-Pres No.4 Tahun 1960). Anggota DPR hasil pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Akibatnya Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu dan mengganti dengan pembentukkan DPR-GR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar