Masa demokrasi terpimpin
Pada perkembangannya, masa demokrasi terpimpin dapat dideskripsikan dengan tiga karakteristik berikut ini:
- Terbatasnya peran partai politik.
- Berkembanganya pengaruh PKI dan militer sebagai kekuatan sosial politik di Indonesia.
- Dominannya peran presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selama masa demokrasi terpimpin berlangsung, kekuasaan presiden yang dominan itu justru menimbulkan penyelewengan kekuasaan menurut Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Penyelewenagan kekuasaan tersebut berpengaruh secara langsung pada instabilitas politik yang juga berimplikasi pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang buruk. Berikut ini beberapa pelanggaran yang bisa disebutkan:
Pelanggaran terhadap prinsip kekuasaan kehakiman. Telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun 1964 bahwa demi kepentingan revolusi, presiden berhak untuk mencampuri proses peradilan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan UUD 1945, sehingga mengakibatkan kekuasaan kehakiman rentan dijadikan instrumen negara untuk menghukum pemimpin politik yang menentang kebijakan pemerintah.
Pengekangan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik. Hal ini ditunjukan dengan pembungkaman pers. Kebebasan pers ditekan dengan cara membungkan media masaa yang menentang kebijakan pemerintah.
Pelampauan batas wewenang presiden. Tanpa berkonsultasi dengan DPR terlebih dahulu, presiden Bung Karno banyak membuat penetapan.
Pembentukan negara ekstrakonstitusional. Presiden membentuk lembaga kenegaraan di luar yang disebutkan UUD 1945. Sebagai contoh, pembentukan Front Nasional yang ternyata dimanfaatkan oleh komunis untuk mebentuk negara komunis di Indonesia.
Pengutamaan fungsi presiden. Sebagai contoh, jika DPR dan MPR tidak berhasil mencapai kesepakatan dalam suatu persoalan, maka presiden berhak mengambil keputusan. Pemimpin DPR, MPR, dan lembaga negara lainnya diberi kedudukan sebagai menteri sehingga menjadi bawahan presiden. DPR yang menolak menyetujui RAPBN yang diusulkan pemerintah dibubarkan oleh presiden.
Akhir dari demokrasi terpimpin berawal dari adanya huru-hara G 30 S yang melibatkan PKI dan militer. Bung Karno dianggap gagal dalam menyeimbangkan dua kekuatan besar tersebut sehingga pemberontakan pecah.
Demokrasi terpimpin secara ”resmi” berakhir dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang isinya memberi wewenang sepenuhnya pada Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan, yang dikenal sebagai peristiwa Supersemar. Sampai artikel ini ditulis, keberadaan supersemar yang asli masih misterius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar